Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang
dapat diartikan sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. Menurut Munir
(2006), bioremediasi merupakan
pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses
biologi dalam mengendalikan pencemaran. Menurut Sunarko (2001), bioremediasi mempunyai potensi untuk
menjadi salah satu teknologi lingkungan yang bersih, alami, dan paling murah
untuk mengantisipasi masalah-masalah lingkungan.
Menurut Ciroreksoko(1996), bioremediasi diartikan
sebagai proses pendegradasian bahan organik berbahaya secara biologis menjadi
senyawa lain seperti karbondioksida (CO2), metan, dan air. Sedangkan menurut
Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan secara produktif proses
biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan (biasanya kontaminan
tanah, air dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan
masyarakat.
Bioremediasi adalah pemanfaatan
mikroorganisme (khamir, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri
yang berfungsi sebagai agen bioremediator) untuk membersihkan senyawa pencemar
(polutan) dari lingkungan. Bioremediasi juga dapat dikatakan sebagai proses
penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi
terkendali. bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan tanaman air.
Tanaman air memiliki kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-komponen
tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses pengolahan limbah
cair ( misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan bakteri patogen).
Penggunaan tumbuhan ini biasa dikenal dengan istilah fitoremediasi. Bioremediasi bertujuan
untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun
atau tidak beracun (karbon dioksida dan air) atau dengan kata lain
mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan.
Mekanisme
Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi
senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Saat
bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia
polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan
akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Pendekatan umum untuk
meningkatkan kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
1. seeding,
mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi
instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous
(bioaugmentasi)
2. feeding,
memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi
(bioventing).
Proses
utama pada bioremediasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Menurut Dr. Anton Muhibuddin, salah satu mikroorganisme yang
berfungsi sebagai bioremediasi adalah jamur vesikular arbuskular mikoriza
(vam). Jamur vam dapat berperan langsung maupun tidak langsung dalam remediasi
tanah. Berperan langsung, karena kemampuannya menyerap unsur logam dari dalam
tanah dan berperan tidak langsung karena menstimulir pertumbuhan mikroorganisme
bioremediasi lain seperti bakteri tertentu, jamur dan sebagainya.
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah
berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia
yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan
industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam
berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain.
Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang
bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi
jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan
bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk
mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang
bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium
dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang
diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh
lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan
yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan
tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat
mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum
mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang
cenderung bertahan di lingkungan.
Pada bioremediasi microbial terdapat faktor-faktor utama yang
menentukan: yaitu Populasi mikroba, Konsentrasi nutrien, Pasokan oksigen, Suhu
dan kelembaban.
Jenis-jenis
bioremediasi
Jenis-jenis
bioremediasi dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Bioremediasi yang melibatkan
mikroba terdapat 3 macam yaitu
1. Biostimulasi
Biostimulasi
adalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di
daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang diperlukan,
yaitu penambahan nutrien dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada dalam jumlah
sedikit, maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
bioproses dapat terjadi. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang
sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses
penyesuaian di laboratorium di perbanyak dan dikembalikan ke tempat asalnya
untuk memulai bioproses. Namun sebaliknya, jika kondisi yang dibutuhkan
tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum
kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar.
2. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan penambahan produk mikroba
komersial ke dalam limbah cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan
limbah secara biologi. Cara ini paling sering digunakan dalam menghilangkan
kontaminasi di suatu tempat. Hambatan mekanisme ini yaitu sulit untuk
mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroba dapat berkembang dengan
optimal. Selain itu mikroba perlu beradaptasi dengan lingkungan tersebut
(Uwityangyoyo, 2011). Menurut Munir (2006), dalam beberapa hal, teknik
bioaugmentasi juga diikuti dengan penambahan nutrien tertentu. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh
mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan
ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
3. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami (tanpa campur tangan
manusia) dalam air atau tanah yang tercemar.
b. Bioremediasi berdasarkan lokasi
terdapat 2 macam yaitu:
1. In situ : dapat
dilakukan langsung di lokasi tanah tercemar (proses bioremediasi yang
digunakan berada pada tempat lokasi limbah tersebut). Proses bioremadiasi in
situ pada lapisan surface juga ditentukan oleh faktor bio-kimiawi dan
hidrogeologi.
2. Ex situ :
bioremediasi yang dilakukan dengan mengambil limbah tersebut lalu ditreatment
ditempat lain, setelah itu baru dikembalikan ke tempat asal. Lalu diberi
perlakuan khusus dengan memakai mikroba. Bioremediasi ini bisa lebih
cepat dan mudah dikontrol dibanding in-situ, ia pun mampu me-remediasi jenis kontaminan
dan jenis tanah yang lebih beragam.
Mikroorganisme akan mendegradasi zat pencemar atau
polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Polutan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik (buatan). Bahan
pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya di lingkungan
yaitu :
a. Bahan pencemar yang mudah
terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu bahan yang mudah terdegradasi di
lingkungan dan dapat diuraikan atau didekomposisi, baik secara alamiah yang dilakukan
oleh dekomposer (bakteri dan jamur) ataupun yang disengaja oleh manusia,
contohnya adalah limbah rumah tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan
masalah lingkungan bila kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan
degradasinya.
b. Bahan pencemar yang sukar
terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi (nondegradable pollutant), dapat
menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Contohnya adalah jenis logam
berat seperti timbal (Pb) dan merkuri.
Sedangkan senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya
dapat dibedakan menjadi :
a. Senyawa-senyawa yang secara alami
ditemukan di alam dan jumlahnya (konsentrasinya) sangat tinggi, contohnya
antara lain minyak mentah (hasil penyulingan), fosfat dan logam berat.
b. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia
hasil rekayasa manusia yang sebelumnya tidak pernah ditemukan di alam,
contohnya adalah pestisida, herbisida, plastik dan serat sintesis.
Dalam bioremediasi, lintasan biodegradasi berbagai
senyawa kimia yang berbahaya dapat dimengerti berdasarkan lintasan mekanisme
dari beberapa senyawa kimia alami seperti hidrokarbon, lignin, selulosa, dan
hemiselulosa. Sebagian besar dari prosesnya, terutama tahap akhir metabolisme,
umumnya berlangsung melalui proses yang sama. Polimer alami yang mendapat perhatian
karena sukar terdegradasi di lingkungan adalah lignoselulosa (kayu) terutama
bagian ligninnya.
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis
mikroorganisme yang berperan dalam mendegradasi polutan minyak bumi dan logam
berat menjadi bahan yang tidak beracun.
1. Pencemaran minyak bumi
Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi
adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi menghasilkan fraksi
hidrokarbon dari proses destilasi bertingkat. Apabila keberadaan minyak bumi
berlebihan di alam, masing-masing fraksi minyak bumi akan menyebabkan
pencemaran yang akan mengganggu kestabilan ekosistem yang dicemarinya. Di dalam
minyak bumi terdapat dua macam komponen yang dibagi berdasarkan kemampuan
mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen minyak bumi yang mudah diuraikan
oleh mikroorganisme dan komponen yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
ü
Komponen minyak bumi yang mudah
didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi atau
mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan
terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi
komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak
bumi. Isolat bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan
pengoksidasi alkana normal.
ü
Komponen minyak bumi yang sulit
didegradasi merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil dibanding komponen
yang mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri pendegradasi komponen ini
berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan
pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini
biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah pertumbuhan
lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan
untuk mendegradasi minyak bumi. Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya
disebut bakteri hidrokarbonuklastik yaitu bakteri yang dapat menguraikan
komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan
menjadikan hidrokarbon sebagai donor elektronnya. Adapun contoh dari bakteri
hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter, Arthrobacter,
Acinetobacter, Actinomyces, Aeromonas, Brevibacterium, Flavobacterium, Moraxella,
Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus. Beberapa contoh fungi yang
digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sp.orobolomyce, Cladosp.orium,
Debaromyces, Fusarium, Hansenula, Rhodosp.oridium, Rhodoturula, Torulopsis,
Trichoderma, Trichosp.oron. Sejumlah bakteri seperti Pseudomonas
aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp., Streptomyces
viridans dan lain-lain menghasilkan senyawa biosurfaktan atau bioemulsi.
Kemampuan bakteri dalam memproduksi biosurfaktan berkaitan dengan keberadaan
enzim regulatori yang berperan dalam sintesis biosurfaktan. Biosurfaktan
merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan
hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air
dan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu biosurfaktan secara
ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk
didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang
tidak larut melalui beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan,
substrat yang berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel, dan
menyebarkannya ke permukaan sel bakteri sehingga lebih mudah masuk ke dalam
sel. Umumnya ada dua macam biosurfaktan yang dihasilkan bakteri yaitu :
·
Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti
glikolipid, soforolipid, trehalosalipid, asam lemak dan fosfolipid) yang
terdiri dari molekul hidrofobik dan hidrofilik. Kelompok ini bersifat aktif
permukaan, ditandai dengan adanya penurunan tegangan permukaan medium cair.
·
Polimer dengan berat molekul besar, yang dikenal
dengan bioemulsifier polisakarida amfifatik. Dalam medium cair,
bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi serta kestabilannya dan
tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan permukaan medium.
·
Pelepasan biosurfaktan ini tergantung dari substrat
hidrokarbon yang ada. Ada substrat (misalnya seperti pada pelumas) yang
menyebabkan biosurfaktan hanya melekat pada permukaan membran sel, namun tidak
diekskresikan ke dalam medium. Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal
heksadekan) yang menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium. Hal
ini terjadi karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat
hidrofobik. Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon pada komponen
permukaan sel yang hidrofobik itu dapat menyebabkan sel tersebut kehilangan
integritas struktural selnya sehingga melepaskan biosurfaktan untuk membran sel
itu sendiri dan juga melepaskannya ke dalam medium.
Secara umum terdapat tiga cara
transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu sebagai berikut:
a.
Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam
fase air. Pada kasus ini, umumnya rata-rata
kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak
dapat mendukung.
b.
Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan
tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel mikroba. Pada kasus
yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel bakteri bersifat
hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon yang
lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau
transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membran
sel bakteri Pseudomonas.
c.
Interaksi sel dengan
tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh
bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan
partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat
teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan oleh
bakteri Pseudomonas ke dalam medium.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bakteri pendegradasi
hidrokarbon pada minyak bumi yaitu:
1) Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan diameter 0,5 – 1 x
1,5 – 5,0 mikrometer. Bakteri ini merupakan organisme gram negatif yang
motilitasnya dibantu oleh satu atau beberapa flagella yang terdapat pada bagian
polar. Akan tetapi ada juga yang hampir tidak mampu bergerak. Bersifat aerobik
obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai terminal elektron aseptor pada proses
metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini tidak bisa hidup pada kondisi asam pada
pH 4,5 dan tidak memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat oksidasi negatif atau
positif, katalase positif dan kemoorganotropik. Dapat menggunakan H2 dan CO
sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas yang umum digunakan sebagai
pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas
stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.
Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan
bakteri Pseudomonas dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah
sifat kelarutannya yang rendah, sehingga sulit mencapai sel bakteri. Adapun
mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri Pseudomonas yaitu:
o Mekanisme
degradasi hidrokarbon alifatik
Pseudomonas
menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya. Penggunaan hidrokarbon
alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan oksigen). Tanpa adanya O2,
hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian hidrokarbon alifatik
jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai sumber
reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
o Mekanisme
degradasi hidrokarbon aromatik
Banyak
senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri
Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid
atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol
2,3-dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan
pembentukan Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur
berhubungan dengan senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh
enzim katekol 2,3-dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus
Krebs (siklus asam sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
2) Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk
batang yang tidak teratur 0,8 – 1,2 x 1 – 8 mikrometer. Pada proses
pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1
mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka asam, aerobik,
kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam dan gas yang
berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif, temperatur
optimum 25 – 30oC.
3) Acinetobacter sp.
Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9 –
1,6 mikrometer dan panjang 1,5- 2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada
fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat membentuk spora. Tipe
selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai. Bakteri ini bersifat
aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron pada metabolisme.
Semua tipe bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300 C, dan tumbuh optimum pada suhu
33-350 C. Bersifat oksidasi negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki
kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga
mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa
menggunakan amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak
memiliki pengaruh yang signifikan. D-glukosa adalah satu-satunya golongan
heksosa yang bisa digunakan oleh bakteri ini, sedangkan pentosa D-ribosa,
D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa digunakan sebagai sumber karbon oleh
beberapa strain.
4) Bacillus sp.
Umumnya bakteri ini merupakan mikroorganisme sel
tunggal, berbentuk batang pendek (biasanya rantai panjang). Mempunyai ukuran
lebar 1,0-1,2 mm dan panjang 3-5 mm. Merupakan bakteri gram positif dan
bersifat aerob. Adapun suhu pertumbuhan maksimumnya yaitu 30-50oC dan
minimumnya 5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3. Bakteri ini mempunyai
kemampuan dalam mendegradasi minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak
bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk menghasilkan energi dan
pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat merombak
hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya
digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.
Selain dari golongan bakteri, mikroba pendegradasi
hidrokarbon juga dapat dilakukan oleh fungi. Fungi pendegradasi
hidrokarbon umumnya berasal dari genus Phanerochaete,
Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Jamur dari
genus ini mendegradasi hidrokarbon polisiklik aromatik. Jamur Phanerochaete
chrysosporium mampu mendegradasi berbagai senyawa hidrofobik pencemar tanah
yang persisten. Adapun oksidasi dan pelarutan hidrokarbon polisiklik aromatik
oleh Phanerochaete chrysosporium menggunakan enzim lignin peroksidase.
Bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu
elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon yang merupakan
hasil metabolisme. Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya
dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai
sumber energi misalnya CO2.
Jamur dari golongan Deuteromycota (Aspergillus niger,
Penicillium glabrum, P. janthinellum, Zygomycete, Cunninghamella elegans ),
Basidiomycetes (Crinipellis stipitaria) diketahui juga dapat mendegradasi
hidrokarbon polisiklik aromatik. Sistem enzim monooksigenase Sitokrom P-450
pada jamur ini memiliki kemiripan dengan sistem yang dimiliki mamalia.
Adapun langkah-langkahnya yaitu pembentukan monofenol, difenol, dihidrodiol dan
quinon dan terbentuk gugus tambahan yang larut air (misalnya sulfat,
glukuronida, ksilosida, glukosida). Senyawa ini merupakan hasil detoksikasi
pada jamur dan mamalia.
2. Pencemaran Logam Berat
Secara umum diketahui bahwa logam berat merupakan
unsur yang berbahaya di permukaan bumi, sehingga kontaminasi logam berat di
lingkungan merupakan masalah yang besar. Persoalan spesifik logam berat di
lingkungan terutama akumulasinya sampai pada rantai makanan dan keberadaannya
di alam menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara maupun air. Bahan pencemar
senyawa anorganik/mineral misalnya logam-logam berat seperti merkuri (Hg),
kadmium (Cd), Timah hitam (pb), tembaga (Cu), timbal (Pb), dan
garam-garam anorganik. Bahan pencemar berupa logam-logam berat yang masuk ke
dalam tubuh biasanya melalui makanan dan dapat tertimbun dalam organ-organ
tubuh. Mikroba memerlukan logam sebagai fungsi struktural dan katalis
serta sebagai donor atau reseptor elektron dalam metabolisme energi. Kemampuan
interaksi mikroba terhadap logam antara lain :
a.
Mengikat ion logam yang ada di lingkungan eksternal
pada permukaan sel serta membawanya ke dalam sel untuk berbagai fungsi sel.
Contohnya bakteri Thiobaccilus sp. Mampu menggunakan Fe dalam aktivasi enzim
format dehidrogenase pada sitokrom.
b.
Menggunakan logam sebagai donor atau akseptor elektron
dalam metabolisme energi.
c.
Mengikat logam sebagai kation pada permukaan sel yang
bermuatan negatif dalam proses yang disebut biosorpsi.
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat
dilakukan dengan cara detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan
bioakumulasi.
§ Detoksifikasi
(biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik
menjadi senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung
dalam kondisi anaerob dan memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
§ Biohidrometalurgi
pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu senyawa yang tidak
dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
§ Bioleaching
merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa yang
mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses
ini biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
§ Bioakumulasi
merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan lintasan
metabolism.
Interaksi mikroba dengan logam di alam adalah
imobilisasi logam dari fase larut menjadi tidak atau sedikit larut
sehingga mudah dipisahkan. Adapun contoh mikroba pendegradasi logam
yaitu :
1)
Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens mampu mengubah Cr
(VI) menjadi Cr (III) dengan bantuan senyawa-senyawa hasil metabolisme,
misalnya hidrogen sulfida, asam askorbat, glutathion, sistein, dll.
2)
Desulfovibrio sp. membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan
hidrogen sulfida yang dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
3)
Desulfuromonas acetoxidans merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan
sulfur dan besi sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik
dalam endapan yang bisa menghasilkan energi.
4)
Bakteri pereduksi sulfat contohnya Desulfotomaculum
sp. Dalam melakukan reduksi sulfat, bakteri ini menggunakan sulfat sebagai
sumber energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik
sebagai sumber karbon. Karbon tersebut selain berperan sebagai sumber
donor elektron dalam metabolismenya juga merupakan bahan penyusun selnya.
Adapun reaksi reduksi sulfat oleh bakteri ini adalah sebagai berikut.
5)
Bakteri belerang, khususnya Thiobacillus ferroxidans
banyak berperan pada logam-logam dalam bentuk senyawa sulfida untuk
menghasilkan senyawa sulfat.
6)
Mikroalga contohnya Spirulina sp., merupakan salah
satu jenis alga dengan sel tunggal yang termasuk dalam kelas Cyanophyceae. Sel
Spirulina sp. berbentuk silindris, memiliki dinding sel tipis. Alga ini
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam dari larutan dan
mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi yang dapat
melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus
karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang
terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
7)
Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. dapat
mengakumulasikan Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus arrhizus
memiliki kemampuan menyerap uranium. Penggunaan jamur mikoriza juga telah
diketahui dapat meningkatkan serapan logam dan menghindarkan tanaman dari
keracunan logam berat.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi Bioremediasi.
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan
oleh aktivitas enzim. Dengan demikian mikroorganisme yang berpotensi
menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya
dengan pengaturan kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Dalam hal ini
perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses
bioremediasi, yang meliputi kondisi tanah, temperature, oksigen, dan nutrient
yang tersedia.
a) Lingkungan/Tanah
Proses biodegradasi memerlukan tipe tanah yang dapat
mendukung kelancaran aliran nutrient, enzim-enzim mikrobial dan air.
Terhentinya aliran tersebut akan mengakibatkan terbentuknya kondisi anaerob
sehingga proses biodegradasi aerobik menjadi tidak efektif. Karakteristik tanah
yang cocok untuk bioremediasi in situ adalah mengandung butiran pasir ataupun
kerikil kasar sehingga dispersi oksigen dan nutrient dapat berlangsung dengan
baik. Kelembaban tanah juga penting untuk menjamin kelancaran sirkulasi nutrien
dan substrat di dalam tanah.
b) Temperatur
Temperatur yang optimal untuk degradasi hidrokaron
adalah 30-40˚C. Ladislao, et. al. (2007) mengatakan bahwa temperatur yang
digunakan pada suhu 38˚C bukan pilihan yang valid karena tidak sesuai dengan
kondisi di Inggris untuk mengontrol mikroorganisme patogen. Pada temperatur
yang rendah, viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana
rantai pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan
meningkat sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Suhu sangat berpengaruh
terhadap lokasi tempat dilaksanakannya bioremediasi
c) Oksigen
Langkah awal katabolisme senyawa hidrokaron oleh
bakteri maupun kapang adalah oksidasi substrat dengan katalis enzim oksidase,
dengan demikian tersedianya oksigen merupakan syarat keberhasilan degradasi
hidrokarbon minyak. Ketersediaan oksigen di tanah tergantung pada (a) kecepatan
konsumsi oleh mikroorganisme tanah, (b) tipe tanah dan (c) kehadiran substrat
lain yang juga bereaksi dengan oksigen. Terbatasnya oksigen, merupakan salah
satu faktor pembatas dalam biodegradasi hidrokarbon minyak
d) pH.
Pada tanah umumnya merupakan lingkungan asam, alkali
sangat jarang namun ada yang melaporkan pada pH 11. Penyesuaian pH dari 4,5
menjadi 7,4 dengan penambahan kapur meningkatkan penguraian minyak menjadi dua
kali. Penyesuaian pH dapat merubah kelarutan, bioavailabilitas, bentuk senyawa
kimia polutan, dan makro & mikro nutrien. Ketersediaan Ca, Mg, Na, K, NH4+,
N dan P akan turun, sedangkan penurunan pH menurunkan ketersediaan NO3-
dan Cl- . Cendawan yang lebih dikenal tahan terhadap asam akan lebih
berperan dibandingkan bakteri asam.
e) Kadar H2O dan karakter
geologi.
Kadar air dan bentuk poros tanah berpengaruh pada
bioremediasi. Nilai aktivitas air dibutuhkan utk pertumbuhan mikroba berkisar
0.9 - 1.0, umumnya kadar air 50-60%. Bioremediasi lebih berhasil pada tanah
yang poros.
f) Keberadaan zat nutrisi.
Baik pada in situ & ex situ. Bila tanah yang
dipergunakan bekas pertanian mungkin tak perlu ditambah zat nutrisi. Untuk
hidrokarbon ditambah nitrogen & fosfor, dapat pula dengan makro & mikro
nutrisi yang lain. Mikroorganisme
memerlukan nutrisi sebagai sumber karbon, energy dan keseimbangan metabolisme
sel. Dalam penanganan limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi
antara lain sumber nitrogen dan fosfor sehingga proses degradasi oleh
mikroorganisme berlangsung lebih cepat dan pertumbuhannya meningkat.
g) Interaksi
antar Polusi.
Fenomena
lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalkan aktivitas
mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur
mikroorganisme di lingkungannya. Salah satu bentuknya adalah kometabolisme.
Kometabolisme merupakan proses transformasi senyawa secara tidak langsung
sehingga tidak ada energy yang dihasilkan.
Kelebihan
Kelebihan
teknologi ini adalah:
1.
Relatif lebih ramah lingkungan,
2.
Biaya penanganan yang relatif lebih murah
3.
Bersifat fleksibel.
1) Proses pelaksanaan dapat dilakukan langsung di daerah
tersebut dengan lahan yang sempit sekalipun.
2) Mengubah pollutant bukan hanya memindahkannya.
3) Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang
cepat.
4) Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan
mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah).
5) Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia
berbahaya.
6) Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah biaya.
Kekurangan
bioremediasi sebagai berikut :
1) Tidak semua bahan kimia dapat diolahsecara
bioremediasi.
2) Membutuhkan pemantauan yang ekstensif .
3) Membutuhkan lokasi tertentu.
4) Pengotornya bersifat toksik
5) Padat ilmiah
6) Berpotensi menghasilkan produk yangtidak
dikenal
7) Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
8) Persepsi sebagai teknologi yang belum teruji
Teknik
Dasar
Ada
4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi:
1.
Stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar)
dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2.
Inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu
mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3.
Penerapan immobilized enzymes
4.
Penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau
mengubah pencemar.
Kunci
sukses
Kunci
sukses bioremediasi adalah:
1. Dilakukan
karakterisasi lahan (site characterization) :
·
sifat dan struktur geologis lapisan tanah,
·
lokasi sumber pencemar
·
perkiraan banyaknya hidrokarbon yang terlepas dalam tanah.
·
sifat-sifat lingkungan tanah : derajat keasaman (pH), temperatur
tanah, kelembaban hingga kandungan kimia yang sudah ada, kandungan
nutrisi, ketersediaan oksigen.
·
mengetahui keberadaan dan jenis mikroba yang ada dalam
tanah.
2. Treatability
study.
§ Sesudah data terkumpul,
kita bisa melakukan modeling untuk menduga pola distribusi dan tingkat
pencemarannya. Salah satu teknik modeling yang kini banyak dipakai adalah
bioplume modeling dari US-EPA. Di sini, diperhitungkan pula faktor perubahan
karakteristik pencemar akibat reaksi biologis, fisika dan kimia yang dialami di
dalam tanah.
§ Rekayasa genetika
terkadang juga perlu jika mikroba alamiah tak memuaskan hasilnya.
§ Treatability study juga
akan menyimpulkan apakah reaksi dapat berlangsung secara aerobik atau
anaerobik.
Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi
gen ”yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari
gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana
mikroba” memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Peluang-peluang
bioremediasi
Peluang kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis
pada teknologi bioremediasi dengan :
1. System
One Top Solution (close system) dan
2. Dengan pendekatan multi-proses
remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang
terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi
awal sebelum Kontaminasi ataupun pencemaran terjadi.
Usaha mencapai total grenning program ini dapat dilanjutkan dengan
rehabilitasi lahan dengan melakukan kegiatan phytoremediasi dan penghijauan
(vegetation establishement) untuk lebih efektif dalam mereduksi, mengkontrol
atau bahkan mengeliminasi hasil bioremediasi kepada tingkatan yang sangat aman
lagi buat lingkungan.
Biaya
tehnologi Bioremediasi di Indonesia berada didalam kisaran 20-200 USD per meter
kubik bahan yang akan diolah (tergantung dari jumlah dan konsentrasi limbah
awalserta metoda aplikasi), jauh lebih murah dari harga yang harus dikeluarkan
dengan teknologi lain seperti incinerasi dan soil washing (150-600 USD).
Bagi industri, penanganan lahan tercemar dengan teknologi
bioremediasi memberikan nilai strategis :
ü Effisiensi,
kesadaran bahwa banyak sumber daya alam kita adalah non-renewable resources
(ex. minyak dan gas), dengan teknologi ramah lingkungan yang cost-effective
(seperti bioremediasi) akan secara langsung berimplikasi kepada pengurangan
biaya pengolahan.
ü Lingkungan,
ketika suatu perusahaan begitu konsern dengan lingkungan, diharapkan akan
terbentuk sikap positif dari pasar yang pada akhirnya seiring dengan kesadaran
lingkungan masyarakat akan mengkondisikan masyarakat untuk lebih memilih “green
Industry” dibanding industri yang berlabel “red industri” atau mungkin “black
industry”, evaluasi kinerja industri dalam pengelolaan lingkungan hidup
(Proper) sudah mulai dilakukan oleh pemerintah (KLH), diharapkan kedepan, akan
terus dikembangkan menjadi pemberian sertifikasi ISO 14001, hasilnya adalah
perluasan pasar dengan "greening image".
ü Environmental Compliance, ketaatan terhadap
peraturan lingkungan menunjukan bentuk integrasi total dan aktif dari industri
terhadap regulasi yang dibangun oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas.
Sikap ini juga akan memberi penilai positif dari masyarakat selaku konsumen
terhadap perusahaan tertentu.
Pemerintah, melalui Kementrian Lingungan Hidup, membuat
Payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi untuk mengatasi
permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta
bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) disusun dan tertuang
didalam:
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.128 tahun 2003 tentang tatacara
dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (Bioremediasi).
Di
masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi
senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun,
pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan
mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan,
dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar